Pilkada serantak tahun 2020 semakin mendekat. Waktu pelaksanaan yang ditetapkan untuk pilkada adalah 9 Desember 2020 sehingga kurang lebih seratus hari lagi pesta demokrasi untuk penentuan pemimpin wilayah akan digelar. Berbagai dinamika tersaji setiap hari dalam ruang-ruang pemberitaan publik. Beberapa realitas social dan politik patuT menjadi concerns. Betapa tidak, pilkada serentak tahun 2020 ini akan diikuti oleh 270 daerah di seluruh Indonesia, dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Di Jawa Tengah pilkada serentak akan dilaksanakan di dua puluh satu kabupaten kota, yang berarti lebih dari separuh kabupaten kota di Jawa Tengah akan memilih pimpinan daerahnya.
Dalam system demokrasi penggantian kepala daerah secara berkala merupakan sesuatu yang niscaya karena penggantian itu memungkinkan regenerasi kepemimpinan sekaligus menghindari berkembangnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun demikian proses pemilu, baik pemilu legislative maupun pemilihan kepala daerah belum begitu disadari oleh masyarakat sebagai sebuah proses demokratisasi untuk perbaikan kondisi kenegaraan.
Mengacu konsep kerawanan pemilu yang mencakup empat dimensi, yaitu
(i) konteks sosial politik, (ii) penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, (iii) kontestasi, dan (iv) partisipasi, maka partisipasi penting untuk menjadi titik perhatian karena tidak hanya partisipasi untuk memilih, namun partisipasi untuk calon dipilih juga memprihatinkan. Partisipasi pemilih …..Hingga titik waktu kurang lebih seratus hari menjelang pelaksanaan pilkada serentak tahun ini, diduga akan ada delapan kabupaten/kota yang hanya memiliki satu pasangan calon.
Kota Semarang, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Semarang diindikasikan sebagai wilayah yang memiliki pasangan calon tunggal.
Berbasis fenomena di atas, tampak kompleksitas demokrasi di negara ini berkait dengan partisipasi. Sangat mengkhawatirkan apabila tingkat partisipasi ini terus menurun karena akan menentukan kualitas legitimasi demokrasi negara ini. Oleh karena itu lama waktu tiga bulan sebelum pelaksanaan pilkada serentak bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi partisipasi yang mengkhawatirkan tersebut.
Mengacu pada gagasan bahwa budaya adalah system pengetahuan yang dengan system pengetahuan itu manusia mengkonsepkan kehidupannya serta melaksanakan kehidupannya tersebut (Spradley) maka dapat ditegaskan bahwa rendahnya partisipasi dalam pemilu disebabkan oleh system pengetahuan masyarakat yang memandang partisipasi dalam pemilu tidak memiliki arti penting bagi perbaikan kualitas negara. Oleh karena itu proses pembentukan pengetahuan merupakan langkah penting dalam pembentukan kesadaran akan arti penting partisipasi dalam politik.
Proses penyadaran dan pembentukan sistem pengetahuan ini dapat dilakukan oleh seluruh stake holder yang ada. Perguruan tinggi sebagai contoh dapat dimanfaatkan sebagai agen diseminasi nilai budaya politik berkait dengan partisipasi. Perguruan tinggi dapat mendesain berbagai program peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai arti penting partisipasi dalam pembangunan demokrasi. Program ini dapat dilaksanakan baik oleh döşen maupun mahasiswa. Orientasi program diutamakan pada daerah yang memiliki tingkat partisipasi rendah, dan sasaran program adalah kelompok masyarakat yang berdasar kajian yang telah dilakukan merupakan kelompok masyarakat dengan tingkat partisipasi rendah. Sebagai contoh hasil kajian di sebuah kabupaten di Jawa Tengah menyatakan bahwa dalam Pilkada tahun 2015 yang lalu dari jumlah penduduk yang tidak memenuhi hak pilihnya atau datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) alasan tertinggi adalah karena merantau (65,32 persen). Merantau dalam konteks ini dengan tujuan bekerja dan sekolah. Alasan berikutnya adalah karena adanya kepentingan mendadak (28,38 persen), dan alasan yang lain proporsinya sangat kecil, yaitu karena sakit, beralih status menjadi anggota TNI/Polri.
Dengan mengacu pada data tersebut dapat ditetapkan fokus kegiatan dapat ditentukan di kalangan kelompok pekerja tanpa mengabaikan kelompok lain. Identifikasi kelompok sosial yang menjadi orientasi diseminasi pembelajaran budaya mengenai partisipasi ini juga penting dilakukan berkait dengan pola hidup (life patterns) dan “bahasa” yang digunakan oleh kelompok sosial tersebut. Pola hidup dalam konteks ini mengacu pada kebiasaan terpola dari suatu kelompok masyarakat berkait dengan pencarian nafkah mereka. Dengan memahami tentang pola hidup ini dapat diketahui “waktu senggang” mereka untuk memungkinkan ketersediaan waktu untuk menerima informasi berkait dengan arti penting partisipasi dalam pemilihan umum. Pemilihan waktu yang tepat secara budaya merupakan proses pemecah kebekuan (breaking the ice)dalam komunikasi yang memungkinkan pertemuan pertama membentuk suasana yang nyaman (lego). Waktu yang nyaman ini memungkinkan terbentuknya suasana komunikasi yang nyaman pula. Tidak perlu waktu yang lama dalam menyampaikan informasi ini karena sebagaimana dinyatakan oleh Mehrabian (1981) yang penting disampaikan dengan cara yang tepat. Pemilihan bahasa yang tepat juga merupakan strategi budaya yang memungkinkan kelompok sosial target dapat memahami isi pesan yang disampaikan. Inilah sebenarnya makna komunikasi budaya yang dalam proses selanjutnya akan membentuk sistem pengetahuan yang akan membentuk prilaku kelompok itu.
Waktu tiga bulan dapat dipandang pendek dan dapat dipandang panjang dalam konteks diseminasi pengetahuan ini. Dapat dikatakan pendek jika tidak dimanfaatkan dengan baik karena waktu akan berjalan begitu saja. Sebaliknya jika dimanfaatkan dengan efektif maka akan terasa lama karena berbagai hal dapat dilakukan. Oleh karena itu semua pihak memiliki tanggungjawab untuk mendiseminasikan informasi mengenai arti penting partisipasi politik bagi kehidupan kenegaraan. Potensi kelembagaan yang ada dalam masyarakat pada hakekatnya merupakan agen budaya yang memiliki kemampuan untuk mendiseminasikan pengetahuan. Oleh karena itu dari sisi kelembagaan dalam masyarakat itu juga perlu dikuatkan sistem pengetahuannya untuk mendiseminasikan pesan partisipasi politik itu. Contoh dari potensi kelembagaan dalam masyarakat adalah perguruan tinggi dan organisasi masyarakat. Upaya yang tepat dan mengena secara budaya akan memiliki dampak baik dalam realisasi partisipasi politik. Jika upaya ini dilakukan dengan baik, Komisi Pemilihan Umum (KPU) boleh berharap untuk mencapai tingkat partisipasi sebanyak 77,5 persen.