Semarang, 19 September 2024 – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang menyelenggarakan Studium Generale bertemakan “Hiperrealitas dalam Konteks Dinamika Masyarakat” acara ini bertempat di Ruang Teater Lt.4 Gedung Rektorat UIN Walisongo dan dihadiri oleh lebih dari 200 peserta yang meliputi mahasiswa, dosen, serta akademisi dari berbagai bidang ilmu sosial.

Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang fenomena hiperrealitas, yaitu kondisi di mana batas antara kenyataan dan citra yang dibentuk oleh media semakin kabur, dalam kehidupan masyarakat modern. Studium generale ini juga mengajak para peserta untuk menganalisis bagaimana hiperrealitas mempengaruhi cara masyarakat memahami realitas sosial, budaya, dan politik.

Dalam sambutannya, Dekan FISIP UIN Walisongo Prof. Dr. H. Imam Yahya, M. Ag., menyampaikan bahwa studium generale ini dilakukan untuk mendorong agar mahasiswa lebih mencintai ilmu. Dinamika masyarakat menjadi isu yang sangat menarik untuk didiskusikan, terlebih dengan munculnya banyak tindak kejahatan random oleh gengster misalnya. Saat ini terdapat definisi yang kabur (hiperealitas) terkait suatu realitas. Hal ini juga didukung oleh teknologi seperti sosial media.

Sebagai narasumber utama, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil., Guru Besar Antropologi UGM menyampaikan materi mengenai hiperealitas dalam masyarakat Indonesia: sebuah tranformasi sosial kultural. Dalam penjelasannya disampaikan bahwa hiperealitas adalah fenomena (gejala) yang melampaui realitas (kenyataan) – realitas baru. Hiperealitas terjadi dimana mana khususnya di masyarakat post modern yang identik dengan teknologi digital dan membawa dampak tersendiri juga.

Selanjutnya, Prof. Dr. Hj. Misbah Zulfa Elizabeth, M. Hum, Guru Besar Antropologi Fisip UIN Walisongo Semarang menyampaikan materi mengenai kekaburan antara realitas dan representasi realitas: Arti penting sistem pengetahuan tentang media. Menurutnya, masyarakat saat ini yang kita lihat adalah masyarakat yang melampaui realitas. Fenomena ini harus dilihat dengan kacamata postmodernisme. Media menjadi realitas yang tidak bisa dihindari: misalnya fenomena tiktok, update story di sosial media dan penggunaan emotikon. Untuk itu, diperlukan kontrol terhadap media sejak balita karena mempengaruhi psikologi. Hal ini karna media yang membawa multi referensi belum saatnya diakses oleh mereka.

Diskusi berlangsung dinamis, dengan banyak mahasiswa yang mengajukan pertanyaan kritis terkait bagaimana cara menyikapi fenomena hiperrealitas, kemudian peran media dalam membentuk hiperrealitas, serta bagaimana konsep agaama dalam konteks hiperrealitas.

Acara ditutup dengan kesimpulan bahwa transformasi digital tidak bisa dihindari, tentunya membawa dampak positif dan negatif. Untuk itu pentingnya literasi digital, untuk meminimalisir dampak negatifnya dan memaksimalkan dampak positifnya.

Stadium Generale ini diharapkan dapat menjadi pemantik bagi mahasiswa untuk belajar dan diskusi lebih banyak lagi tentang fenomena sosial yang lekat dengan kehidupan kita sehari-hari dan juga menerapkan teori-teori sosial sebagai pisau analisis dalam melihat fenomena tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *