Endang Supriadi, M.A.

Dosen Sosiologi FISIP UIN Walisongo Semarang

Dalam artikel yang ditulis oleh saudara Aji Setiawan di laman Kompasiana tentang “Ahbabul Mushtofa Fans Club”, dia memaparkan ihwal Syekher Mania (sebutan lain untuk Ahbabul Mushtofa: fans Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf) ketika melihat atau mengikuti majelis sholawat yang dipimpin langsung oleh Habib Syekh sendiri. Dari pengamatan saya terhadap tulisan saudara Aji Setiawan, serta pengalaman saya sendiri tatkala mengikuti majlis sholawat yang diampu oleh Habib Syekh, saya menemukan beberapa fenomena-fenomena yang terkesan lain, berbeda, dan unik.

Fenomena-fenomena tersebut, jika dikaji dengan ilmu-ilmu sosial, terutama dalam perspektif Psikologi Sosial, akan menemukan beberapa fakta-fakta yang menarik. Seperti yang saya amati dilapangan sebagai berikut:

. Aspek Kognisi Sosial (Cognitive Perspective)

Dimana para penonton ittiba` (mengikuti) Habib Syekh dalam beberapa hal, seperti; pertama, ihwal berpakaian, Habib Syekh yang berpakaian jubah putih dengan peci berlilit sorban yang juga putih serta sorban yang diselempangkan di bahu yang terkadang berwarna putih maupun hijau, sontak saja memberikan makna simbol spiritual-religius yang akan dengan mudah menjadi bahan percontohan, sampel percontohan oleh mereka yang dengan kesadarannya mengaku menjadi para pecinta sholawat Habib Syekh. Sehingga, para jamaah majelis yang berjubel pun kebanyakan memakai pakaian putih-putih. Kedua, ihwal cara berucap, seolah hanyut atau melebur dengan psikologi jiwa Habib Syekh, para Syekher Mania terkesan mati kutu jika sama sekali tidak pernah menirukan pembawaan sholawat beliau. Pembawaan dengan “suara emas” yang terkesan lain, unik ini membawa dampak luar biasa. Para penikmat mudah saja untuk menirukan model sholawat beliau ketika di maejlis ataupun di luar majelis. Selain itu, beberapa ucapan yang sering beliau ucapkan dalam majelis menjadi familiar di kalangan para fans. Perkataan “benderanya diturunkan” kadang menjadi bahan lelucon bagi para Syekher Mania.

Kedua perihal inilah yang membentuk perilaku sosial dari kognisi masing-masing para Syekher Mania ataupun para pecinta sholawat Habib Syekh. Hal ini terkait juga dengan dictum J. Baldwin (1897) yang menyatakan bahwa paling sedikit ada dua peniruan, dari dalam diri kita sendiri maupun dari orang lain.

  • Aspek Perilaku Sosial (Behavioral Perspective)

Gaung sholawat Habib Syekh berjalan tidak lazimnya, karena hampir seluruh masyarakat Indonesia mengenalinya. Entah itu melihat langsung, dikasih tau teman atau hanya mendengar, itu di luar majelis sholawat atau hanya ihwal bukan hal mistik sholawat yang tentunya menjadi nilai baik ketika kita mau bersholawat. Tapi kehebohan ini lain, mungkin karena ciri khas Habib Syekh itu sendiri, atau karena masyarakat yang kaget sebab ada Habib dari Jawa yang luar biasa merdu suaranya atau bahkan kharismanya beliau di atas panggung. Hal itu hanya kemungkinan-kemungkinan yang muncul tengah-tengah masyarakat.

Lebih dari itu, mengamini dictum B.F. Skinner (1974) tentang reinforcement, yakni proses di mana akibat atau perubahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat memperkuat perilaku tertentu di masa mendatang. Jadi fenomena Habib Syekh ini patut di garis bawahi sebagai progress masyarakat untuk masa depan.

Terlihat dari beribu-ribu, bahkan berjuta-juta Syekher Mania yang tersebar di Indonesia. Betapa besar pengaruh Habib Syekh itu sendiri kepada para penikmat sholawatnya. Betapa pula istimewa beliau di mata para jamaahnya, kecuali karena faktor Habib yang notabene keturunan Nabi SAW. Habib Syekh sangat diperhitungkan jejak-langkahnya sebagai orang muslim yang sangat berpengaruh di Indonesia, bahkan mungkin di dunia.

  • Aspek Interaksi Sosial (Interactionist Perspective)

Interaksi sosial yang berjalan dalam majelis sholawat Habib Syekh sangat menyeluruh. Dakwah yang dilakukan dari satu daerah ke daerah lain semenjak beberapa tahun yang lalu nampak sekali dampak nilai positifnya. Hampir seluruh etnis di Indonesia menyukai gaya sholawatannya. Tidak jarang, jika dalam suatu majelis, audien-nya berasal dari beberapa daerah yang berbeda-beda. Menurut G. Herbert Mead, bahwa interaksi dapat berjalan dengan baik dikarenakan adanya simbol-simbol pemersatu, yakni Habib Syekh itu sendiri. Pola interaksi antara satu audien dengan audien lain, audien dengan Habib Syekh terbentuk berdasar kognisi kesadaran manusia yang menghendaki adanya harmonisasi dari sholawat.

Harmonisasi itu, berlanjut kepada pemahaman terhadap perbedaan. Perbedaan tidak menjadi penghalang untuk bersatu jika melihat fakta dalam majelis beliau. Perbedaan malah menjadikan mereka satu meskipun berbeda suku. Entah karena faktor sholawatnya atau faktor Habib Syekh nya sendiri, itu tidak penting. Tapi yang terpenting adalah bagaimana moment majelis sholawat ini dimanfaatkan sebagai moment pemersatu umat.

Lain dari hal tersebut, peristiwa kehidupan tidak hanya berjalan di dalam majelis. Ada juga peristiwa yang berjalan di luar majelis, yakni roda perekonomian. Berjibun penjual berjualan di sekitar area majelis sholawat Habib Syekh. Hal demikian selalu terjadi dan kebanyakan dari mereka para penjual yang menjual barang-barang islami, seperti; tasbih, sorban, peci, minyak wangi, sarung, busana muslim, dan sebagainya. Selain itu banyak juga souvenir khas Habib Syekh sendiri, seperti; foto beliau, kaset atau CD/DVD rekaman sholawat beliau, kaos bergambar beliau, dan lain sebagainya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam Indonesia merupakan Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai lokal bangsa Indonesia. Islam Indonesia berbeda dengan kebanyakan Islam di berbagai negara muslim. Yang membedakan Indonesia adalah adanya proses yang intricate dimana proses kerja kebudayaan yang melibatkan berbagai elemen sosial-budaya-ekonomi, yang kemudina elemen tersebut saling keterkaitan antar satu dengan lainnya dan membentuk jaringan yang sangat rumit dan kompleks, dimana ruang budaya dan sosial yang ada dimanfaatkan secara maksimal oleh kerja-kerja keagamaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *