Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) Provinsi Jawa Tengah mengadakan Rapat Koordinasi Pengembangan/Pembinaan Desa Pengawasan dan Desa Anti Politik Uang dengan tema ‘’Diskusi Terarah : Optimalisasi Peran Desa Pengawasan dan Desa Anti Politik Uang Dalam Pengawasam Partisipatif ’’ di Grand Candi Hotel Semarang, Jum’at (31/05/2024).
Acara ini menghadirkan 10 lembaga yaitu FISIP Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang, FISIP Universitas Diponegoro Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, FISIP Universitas Wahid Hasyim Semarang, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, FISIP Universitas Negeri Semarang, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Tengah, Biro Pemerintahan Otonomi Daerah dan Kerjasama Provinsi Jawa Tengah dan 2 media turut hadir.
Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN Walisongo, Nur Syamsudin menjelaskan kekuatan dan kelemahan Bawaslu.
‘’ Kekuatan pertama yaitu struktur organisasi bertambah tingkat kabupaten kota. Jadi Bawaslu permanen sampai kabupaten kota. Memiliki tambahan kewenangan dalam penegakan hukum pemilu. Jadi kekuatan Bawaslu itu hanya satu yaitu support lembaga yang diberi mandat oleh undang-undang. Kelemahan Bawaslu itu adalah belum merata SDM dan Anggaran termasuk sarpras, infrastruktur dan sebagainya,’’jelasnya.
Selain itu, kekuatan dan kelemahan ini berdasarkan Renstra terdapat peluang yang bisa dilakukan oleh Bawaslu.
‘’Kekuatan dan kelemahan kalau dari renstra yang sekarang berlangsung berlaku sampai tahun 2024 itu kekuatan Bawaslu itu kuat. Tetapi dalam renstra itu juga disebut banyak peluang yang bisa dilakukan oleh Bawaslu,’’ujarnya.
Tim Peneliti dari FISIP UIN Walisongo melakukan penelitian di Desa Lerep, Ungaran, Kabupaten Semarang menggunakan teori Collaborative Governance yang disampaikan oleh Ansell & Gash Tahun 2008.
‘’Kita melakukan sebuah penelitian di desa Lerep Kabupaten Semarang Khususnya di Ungaran. Jadi ada tata kelola, kolaborasi dalam pengawasan partisipatif. Teori ini memang sengaja digunakan karena memang memiliki keunggulan lebih khusus pada partisipasi pengawasan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat secara langsung. Nah teori ini salah satunya disampaikan oleh Ansell & Gash (2008) yang mengembangkan bahwa model collaborative governance itu dengan empat variable utama, dan ini saya yakin kita semua sudah melakukan terkadang tidak merasakan bahwa sesungguhnya adalah collaborative governance,’’ungkapnya.
Tak hanya itu, Tim Peneliti FISIP UIN Walisongo juga menggunakan pendekatan resolusi konflik dalam penelitian.
‘’Dalam penelitian kita menggunakan pendekatan resolusi konflik. dimana Resolusi konflik ini kemudian menyadarkan kepada seluruh komunitas agar merajut solidaritas sosial mengembalikan budaya gotong royong dalam membangun desa serta mereka yang terpilih ini harus mengayomi dan melindungi semua. Dengan demikian maka, variabel pertama bisa kita lakukan kolaborasi jika kemudian resolusi konflik di desa tersebut bisa berjalan secara baik. Ini membutuhkan waktu, tenaga dan pikiran yang cukup panjang,’’.
Nur Syamsudin menegaskan beberapa variabel utama dalam Teori Collaborative Governance.
‘’Variabel pertama kondisi awal. Ini justru sangat menentukan apakah sebuah kolaborasi bisa dijalankan atau tidak itu tergantung dari identifikasi dan bagaimana kondisi awal ini dilakukan. Beberapa kelemahan sesungguhnya bisa diselesaikan,’’.
‘’Variabel kedua desain kelembagaan. Jadi bagaimana kita menyusun kolaborasi itu sesuai dengan yang kita kehendaki outlet diperlukan desain kelembagaannya. Kelembagaannya seperti apa supaya kolaborasi ini bisa berjalan. Dimana desain kelembagaan ini kalau dalam makna strategi kolaborasi partisipatif pengawasan ini yang membuat desain adalah Bawaslu. Desain kelembagaan kemudian muncul kode etik bagaimana mekanisme yang dilakukan,’’.
‘’Variabel ketiga kepemimpinan fasilitatif. Misalnya di desa, jika pemimpinnya sudah melakukan fasilitasi insyaallah collaborative governance ini bisa berjalan. Tahapan proses ini merupakan inti dari collaborative governance,’’.
‘’Proses Kolaborasi bukanlah sesuatu yang susah. Meskipun prosesnya ada 5 tahapan : tatap muka, membangun kepercayaan, membangun komitmen, membangun pemahaman yang sama, hasil.
Nur Syamsudin memaparkan 5 tahapan dalam proses kolaborasi.
‘’Tatap muka ini perlu, jadi kepala desa sebagai kepemimpinan fasilitatif ini juga bisa memulai tetapi ini didorong terus oleh Bawaslu. Bawaslu tingkat kabupaten kota perlu mengajak MoU dengan seluruh kepala desa dan didahului oleh MoU bupati walikota. Supaya bupati walikota ini juga ikut. Sehingga mereka juga akan terlibat dalam pengawasan partisipatif,’’.
‘’Tahap kedua membangun kepercayaan dan partisipasi masyarakat. Ternyata masyarakat jika diajak mulai sumbangsih ide gagasan, partisipasi dalam pelaksanaan program masyarakat bisa memanfaatkan. Contoh semua barang yang diproduksi itu adalah hasil produksi sendiri,’’.
‘’Membangun komitmen ternyata kepala desa membuat regulasi dalam bentuk perkades dan sk kades, deklarasi bersama,’’
‘’Pemahaman yang sama, stakeholder berkumpul jadi satu dan menjalin hubungan berkomunikasi seperti jogo tonggo,’’.
‘’Hasil : keguyuban dan kekerabatan masyarakat terbangun kembali, meminimalisir praktek kecurangan dan politik uang, secara keseluruhan tahap pemilu berjalan lancar dan sukses,’’paparnya.
Ia juga menambahkan 3 kondisi yang harus dikondisikan sehingga nanti proses kolaborasi bisa berjalan.
‘’Jadi ada 3 kondisi yang harus dikondisikan sehingga nanti proses kolaborasi itu bisa berjalan : desa khususnya di Jawa Tengah dan yang kita lakukan penelitian itu. Kondisi pertama ada kekuatan dan sumberdaya yang tidak seimbang antar actor kolaboratif yang terlibat. Jadi sebenarnya, desa itu punya resource sumber daya yang sungguh luar biasa jika itu kemudian bisa di manage dan diberdayakan secara kolaboratif. Yang kedua, di desa itu karena pilkades itu dilaksanakan secara langsung sejak lama selalu saja sejarah konflik antar actor di masa lalu sampai hari ini, para kades sudah minta jabatannya diperpanjang sembilan tahun dan bisa dipilih tiga kali,’’tambahnya.
Reporter : Nuke Rachma Gunarni